Tampilkan di aplikasi

Buku UNS Press hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Ulama dalam Pusaran Politik

Eksperimentasi Politik Ulama NU Solo Raya dari Masa Orde Baru Sampai Awal Reformasi

1 Pembaca
Rp 68.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 204.000 13%
Rp 58.933 /orang
Rp 176.800

5 Pembaca
Rp 340.000 20%
Rp 54.400 /orang
Rp 272.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi

Perpustakaan digital
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. Perpustakaan

Membaca sikap dan prilaku politik ulama NU secara komprehensip perlu dipahami terlebih dahulu pandangan dan prinsip-prinsip keagamaan yang selama ini menjadi dasar pijakan dalam berpolitik. Pandangan dan sikap politik ulama NU umumnya mengikuti pemikiran dan pendapat ulama Sunni abad pertengahan Seperti pemikiran politik dari imam al-Mawardial Ghozali, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Kholdun Karena itu, berpolitik praktis dalam pandangan ulama NU tidak sekedar usaha mendapatkan kekuasaan di pemerintahan tetapi juga memperjuangkan aspek-aspek keagamaan di dalam pengelolaan negara. Khususnya mengawal peraturan dikeluarkan pemerintah agar tidak menyalahi agama.

Nalar politik di atas terlihat implementasinya ketika ulama NU di wilayah Solo Raya di bawah rezim otoriter Orde Baru. Orde Baru merupakan rezim yang mengedepankan tertib politik demi keberhasilan pembangunan. Dampaknya negara menjadi represif dan mengontrol ketat kehidupan politik arus bawah. Karena itu eksperimentasi politik yang dipraktikkan ulama NU menghadapi tindakan represif Orde Baru menggunakan cara- cara moderat, toleran dan mendahulukan prinsip mashlahat. Masa transisi pasca jatuhnya rezim Orde Baru membuka kesempatan ulama NU kembali di panggung politik kepartaian. Kemunculan PKB yang kelahirannya dibidani ulama PBNU dijadikan sarana eksperimentasi politik ulama NU meraih kekuasaan di pemerintahan. Namun hal menarik pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 tidak semua ulama NU di wilayah Solo Raya satu barisan mendukung PKB. Hal ini memperlihatkan bahwa otoritas personal yang dimiliki ulama NU dalam menentukan afiliasi politiknya tidak lagi mendasarkan arah kebijakan organisasi Reaktualisasi khittah NU 1984 menjadi penting kedudukannya. Fakta ini dapat dilihat perbedaan afiliasi partai politik di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 hal lumrah terjadi di kalangan ulama NU. Dengan kata lain berpolitik bagi ulama NU tidak lagi berangkat dari kepartaian menjadi kerja sosiokultural dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkualitas (mabadi' khoiro ummah)

Ikhtisar Lengkap   

Penulis: M. Bagus Sekar Alam

Penerbit: UNS Press
ISBN: 9786023978496
Terbit: Juli 2023 , 281 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Membaca sikap dan prilaku politik ulama NU secara komprehensip perlu dipahami terlebih dahulu pandangan dan prinsip-prinsip keagamaan yang selama ini menjadi dasar pijakan dalam berpolitik. Pandangan dan sikap politik ulama NU umumnya mengikuti pemikiran dan pendapat ulama Sunni abad pertengahan Seperti pemikiran politik dari imam al-Mawardial Ghozali, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Kholdun Karena itu, berpolitik praktis dalam pandangan ulama NU tidak sekedar usaha mendapatkan kekuasaan di pemerintahan tetapi juga memperjuangkan aspek-aspek keagamaan di dalam pengelolaan negara. Khususnya mengawal peraturan dikeluarkan pemerintah agar tidak menyalahi agama.

Nalar politik di atas terlihat implementasinya ketika ulama NU di wilayah Solo Raya di bawah rezim otoriter Orde Baru. Orde Baru merupakan rezim yang mengedepankan tertib politik demi keberhasilan pembangunan. Dampaknya negara menjadi represif dan mengontrol ketat kehidupan politik arus bawah. Karena itu eksperimentasi politik yang dipraktikkan ulama NU menghadapi tindakan represif Orde Baru menggunakan cara- cara moderat, toleran dan mendahulukan prinsip mashlahat. Masa transisi pasca jatuhnya rezim Orde Baru membuka kesempatan ulama NU kembali di panggung politik kepartaian. Kemunculan PKB yang kelahirannya dibidani ulama PBNU dijadikan sarana eksperimentasi politik ulama NU meraih kekuasaan di pemerintahan. Namun hal menarik pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 tidak semua ulama NU di wilayah Solo Raya satu barisan mendukung PKB. Hal ini memperlihatkan bahwa otoritas personal yang dimiliki ulama NU dalam menentukan afiliasi politiknya tidak lagi mendasarkan arah kebijakan organisasi Reaktualisasi khittah NU 1984 menjadi penting kedudukannya. Fakta ini dapat dilihat perbedaan afiliasi partai politik di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 hal lumrah terjadi di kalangan ulama NU. Dengan kata lain berpolitik bagi ulama NU tidak lagi berangkat dari kepartaian menjadi kerja sosiokultural dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkualitas (mabadi' khoiro ummah)

Pendahuluan / Prolog

Arti Penting Mengkaji Politik Ulama NU Masa Orde Baru Sampai Awal Reformasi
Ulama di negeri ini dalam perkembangan historisnya tidak hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga elite politik. Munculnya peran keduanya tampak nyata di tengah-tengah masyarakat yang mengalami gejolak politik penuh ketidakpastian. Kondisi masyarakat yang labil penuh ketidakpastian ini membuka ruang elite agama bertransformasi diri menjadi aktor politik pembawa perubahan sosial yang menentukan. Mereka mampu mengubah agama menjadi doktrin perlawanan, dasar legitimasi, dan gerakan politik massa guna mencapai tujuan tertentu. Setidaknya ada dua motif yang mendorong ulama terlibat dalam politik kekuasaan. Pertama, berangkat dari doktrin agama itu sendiri. Islam dan politik tidak dapat dipisahkan (al-din wa aldaulah). Islam merupakan agama komprehensif ajarannya mengatur semua aspek kehidupan, termasuk urusan politik, dan pemerintahan. Agama memberi tempat bagi ulama turut berpartisipasi dalam praktik-praktik kekuasaan guna memperjuangkan dan menegakkan aspek keagamaan (hukum Islam) di dalam pengelolaan negara.

Kedua, alasan kesejarahan. Fakta sejarah memperlihatkan pergumulan ulama dengan politik kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Pada periode kejayaan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, banyak ulama masuk di dalam struktur kekuasaan tradisional. Peran mereka sebagai mufti, qodli, atau penghulu kerajaan menempatkan posisinya pada kelas dan status sosial yang tinggi. Perkembangan selanjutnya, pada masa kolonialisme Barat, narasi heroic diperlihatkan kaum ulama dalam memimpin perlawanan menentang penjajahan Belanda. Begitu pula periode revolusi fisik kaum ulama aktif terlibat dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. Faktor kesejarahan ini menjadikan ulama punya tanggung jawab ikut mengawal jalannya roda pemerintahan.

Dalam konteks lokal di wilayah Solo Raya, pergumulan awal ulama dalam arena kekuasaan dapat dilacak perannya melalui keberadaan penghulu (abdi dalem ulama) dalam struktur birokrasi Kerajaan Mataram Islam, baik di Kerajaan Kasunanan maupun di Mangkunegaran. Signifikansi keberadaan abdi dalem ulama di dalam birokrasi kerajaan tersebut menjadi perpanjangan tangan raja di dalam urusan hukum agama dan kegiatan syiar keagamaan. Perkembangan berikutnya, pergumulan politik ulama berlanjut dengan porsinya masing-masing ambil bagian di panggung pergerakan. Seperti Penghulu Tapsir Anom V memprakarsai berdirinya Madrasah Mambaul Ulum (1905-1940-an) yang tujuannya mencetak kaum ulama. Peran Kyai Idris yang berhasil menghidupkan kembali Pondok Pesantren Jamsaren (1890-1930- an). Kedua lembaga pendidikan agama tersebut lahir sebagai wujud resistensi menjamurnya sekolah-sekolah Barat yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. H. Samanhudi mendirikan organisasi populis Sarekat Islam (1912) sampai munculnya ulama propagandis yang militan, H. Misbach dengan gerakan komunisme Islam (1914-1926). Begitu pula selama periode revolusi fisik (1945-1949), kaum ulama membentuk badan-badan perjuangan. Seperti Laskar Hisbullah, Sabilillah, dan Laskar Barisan Kyai yang dimobilisasi kaum ulama guna mempertahankan kemerdekaan di wilayah Surakarta.

Daftar Isi

Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I: Pendahuluan
     A. Latar Belakang: Arti Penting Mengkaji Politik Ulama NUMasa Orde Baru Sampai Awal Reformasi
     B. Ulama NU dan Partai Politik: Sebuah Kerangka Konseptual
     C. Posisi Historiografis Buku Ini
     D. Struktur Pembahasan Buku
Bab II: Eksistensi dan Persebaran Ulama NU Masa Orde Baru
     A. Wilayah Solo Raya dalam Tinjauan Sejarah
     B. Peran Ulama Terdahulu: Membumikan Pesantren dan Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
     C. Persebaran Komunitas Ulama NU
Bab III: Dinamika Politik Ulama NU Masa Orde Baru  (Pemilu 1971 – Pemilu 1997)
     A. Pandangan Politik Ulama NU: Sebuah Pendekatan Fikih
     B. Struktur dan Format Politik Orde Baru
     C. Dinamika Politik Ulama NU di Wilayah Solo Raya pada Pemilu 1971
     D. Eksperimentasi Politik Ulama NU Pasca Fusi Partai Tahun 1973 sampai Pemilu 1982 (Sebelum Khittah NU1984)
     E. Eksperimentasi Politik Ulama Pesantren NU Pasca Khittah NU Tahun 1984 (Pemilu 1987 sampai Pemilu 1997)
Bab VI: Eksperimentasi Politik Ulama NU Pasca
     A. Peran Politik Ulama Pesantren NU Dalam Gerakan Reformasi 1998 di Surakarta
     B. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Media Eksperimentasi Politik Ulama Pesantren NU
     C. Eksperimentasi Politik Ulama Pesantren NU Bersama PKB pada Pemilu 1999
     D. Evaluasi Politik Ulama Pesantren NU Pasca Pemilu 1999dan Bercermin Kasus di Sragen
Bab V: Eksperimentasi Politik Ulama NU Pasca
     A. Gejolak Politik Sebelum Pemilu 2004: Respon Ulama Pesantren NU Dalam Kasus Bulogate/Bruneigate
     B. Eksperimentasi Evaluatif Ulama Pesantren NU pada Pemilu 2004 di Wilayah Solo Raya
     C. Netralitas Ulama Pesantren NU Pada Pilihan Presiden Langsung (Pilpres) Tahun 2004
     D. Prospek Politik Ulama Pesantren NU di Era Reformasi (Berkaca pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004)
Bab VI: Simpulan
Daftar Pustaka
Penulis