Sekali Lagi, TWK
PERSOALAN tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berlarut-larut sampai saat ini. Sebenarnya, ini persoalan ringan jika saja para pihak tak memiliki kepentingan-kepentingan.
Sangat sederhana jalan keluarnya: buka saja kepada siapapun yang berkepentingan, untuk apa tes dilakukan, bagaimana pelaksanaannya, dan sejauh apa nilainya, terutama terhadap mereka yang dinyatakan tak lulus itu.
Fakta itulah yang akan menutup pintu untuk perdebatan yang lebih kencang. Sebab, dasar-dasarnya sudah jelas. Jika ada yang masih mendebat, bisa kita simpulkan sekadar pelampiasan kekecewaan saja.
Tapi, sekarang persoalan yang muncul bukan pada soal puas atau tidak puas semata. Persoalan yang mencuat adalah soal fairness dalam pelaksanaan TWK. Sebab, pelaksanaan –dan juga hasilnya—memunculkan kecurigaan-kecurigaan yang masuk akal karena ketertutupannya.
Kini, makin banyak lembaga yang terseret-seret. Dari Komnas HAM hingga BNPT dan TNI. Padahal, tanggung jawab utamanya, kecuali ada di petinggi KPK sendiri, adalah di Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
Setiap ada upaya untuk membuka transparansi itu, yang muncul adalah saling lempar antara BKN dan KPK. Tentu saja, ini kian memicu kecurigaan, tidak hanya 75 orang pegawai yang dinyatakan tak lulus, melainkan juga publik.
Soal transparansi ini adalah soal berikutnya dari masalah-masalah yang dihadapi dari proses TWK ini. Sebelumnya, sudah ada persoalan pertanyaan yang “tidak-tidak” terhadap peserta tes.
Dalam konteks seperti itu, kita tidak bisa menghindari kecurigaan masyarakat tentang kemungkinan ada “sesuatu” di balik TWK ini. Apalagi, jika dilihat dari rekam jejaknya, sebagian besar yang tak lulus adalah mereka yang selama ini setidaknya tercitrakan sebagai pegawai yang memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi.
Apakah ada kepentingan-kepentingan pihak tertentu dalam pelaksanaan TWK ini? KPK dan BKN boleh saja membantahnya. Tapi mereka tak bisa melarang munculnya kecurigaan dari masyarakat sipil.
Maka, sebenarnya, dalam hal ini, transparansi dan kejujuran itu menjadi bagian yang penting dalam mengatasi persoalan ini. Tunjukkan bahwa TWK bukan alat untuk memangkas pegawai yang bertentangan dengan pimpinan KPK, misalnya. Caranya sederhana saja, tunjukkan hasil itu sehingga publik kemudian bisa menilai, hasil tesnya memang fair.
Kalau tidak, maka hal itu kita yakini akan kian menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Tak ada seorang pun di negeri ini yang ingin KPK menjadi lemah, kecuali mereka yang punya hobi mencoleng duit negara. (*)